Dalam bahasa sehari-hari, ghibah sering diartikan dengan gossip. Gossip adalah suatu cerita yang belum diklarifikasi kebenarannya. Para da`i dan penceramah kita sering mengartikan ghibah sebagai suatu perbuatan menceritakan keadaan seseorang sementara orang yang diceritakan tidak senang jika keadaannya diceritakan kepada orang lain.
Dengan demikian, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai ghibah tidak terkait dengan benar tidaknya berita yang diceritakan. Cerita benar sekalipun tetap disebut sebagai ghibah, tergantung suka atau tidaknya orang yang bersangkutan kalau keadaannya diperbincangkan.
Pada hakikatnya, ghibah muncul akibat prasangka buruk terhadap orang lain. Prasangka buruk terhadap orang lain. Prasangka buruk ini kemudian disampaikan kepada orang lain dengan tujuan untuk menjatuhkan dan mencemarkan nama baiknya. Pada puncaknya, orang tersebut dikucilkan dari pergaulan sosial.
Di dalam Al Qur’anul Karim Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat mencela perbuatan ghibah, sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing (ghibah) kepada sebagian yang lainnya. Apakah kalian suka salah seorang di antara kalian memakan daging saudaramu yang sudah mati? Maka tentulah kalian membencinya. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Pengasih.” (Al Hujurat: 12).
Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi`i berkata dalam tafsirnya: “ Sungguh telah disebutkan (dalam beberapa hadits) tentangg ghibah dalam konteks celaan yang menghinakan. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta`ala menyerupakan orang yang berbuat ghibah seperti orang yang memakan bangkai saudaranya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta`ala ... (pada ayat di atas). Tentunya itu perkara yang kalian benci dalam tabi`at, demikian pula hal itu dibenci dalam syari`at. Sesungguhnya ancamannya lebih dahsyat dari permisalan itu, karena ayat ini sebagai peringatan agar menjauh/lari (dari perbuatan yang kotor ini” (Lihat Misbahul Munir).
Suatu hari Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Shafiyyah bahwa dia adalah wanita yang pendek. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
Asy Syaikh Salim bin `Ied Al Hilali berkata: “Dapat merubah rasa dan aroma air laut, disebabkan betapa busuk dan kotornya perbuatan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan betapa busuk dan kotornya perbuatan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari perbuatan tersebut.” (Lihat Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin 3/25).
Sekedar menggambarkan bentuk tubuh seseorang saja sudah mendapat teguran keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bagaimana dengan menyebutkan sesuatu yang lebih keji dari itu? Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
Yang dimaksud dengan ‘memakan daging-daging manusia’ dalam hadits ini adalah berbuat ghibah (menggunjing), sebagaimana permisalan pada surat Al Hujurat ayat: 12.
Dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu `anhu, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو في جَوْفِ رَحْلِهِ
Dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu `anhu, beliau berkata: “Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam mencium bau bangkai yang busuk. Lalu Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam berkata: “Apakah kalian tahu bau apa ini? (Ketahuilah) bau busuk ini berasal dari orang-orang yang berbuat ghibah.” (H.R. Ahmad 3/351).
Dari shahabat Sa`id bin Zaid radhiyallahu `anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الإِسْتِطَالةَ فِي عِرْضِ المُسْلِمِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَفِي رِوَايَة : مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِر
Dari ancaman yang terkandung dalam ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan ghibah ini termasuk perbuatan dosa besar, yang seharusnya setiap muslim untuk selalu berusaha menghindar dan menjauh dari perbuatan tersebut.
Asy Syaikh Al Qahthani dalam kitab Nuniyyah hal. 39 berkata:
لاَتُشْغِلَنَّ بِعَيْبِ غَيْرِكَ غَافِلاً
عَنْ عَيْبِ نَفْسِكَ إِنَّهُ عَيْبَانِ
Maksudnya, bila anda menyibukkan dengan aib orang lain maka hal itu merupakan aib bagimu karena kamu telah terjatuh dalam kemaksiatan. Sedangkan bila anda lalai dari mengoreksi aib pada dirimu sendiri itu juga merupakan aib bagimu. Karena secara tidak langsung kamu merasa sebagai orang yang sempurna. Padahal tidak ada manusia yang sempurna dan ma`shum kecuali para Nabi dan Rasul.
Konteks dalam hadits:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
Hadits di atas secara zhahir mengandung makna yang umum, yaitu mencakup penyebutan aib dihadapan orang tersebut atau di luar sepengetahuannya. Namun Al Hafizh Ibnu Hajar Al `Asqalani menguatkan bahwa ghibah ini khusus di luar sepengetahuannya, sebagaimana asal kata ghibah (yaitu dari kata ghaib yang artinya tersembunyi) yang ditegaskan oleh ahli bahasa. Kemudian Al Hafizh berkata: “Tentunya membeberkan aib di hadapannya itu merupakan perbuatan yang haram, tapi hal itu termasuk perbuatan mencela dan menghina.” (Fathul Bari 10/470 dan Subulus Salam hadits no. 1583, lihat Nashihati linnisa’i hal. 29).
Demikian pula bagi siapa yang mendengar dan ridha dengan perbuatan ghibah maka hal tersebut juga dilarang. Semestinya dia tidak ridha melihat saudaranya dibeberkan aibnya. Dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu `anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّ عِرْضَ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Demikian juga semestinya ia tidak ridha melihat saudaranya terjatuh dalam kemaksiatan yaitu berbuat ghibah. Semestinya ia menasihatinya, bukan justru ikut larut dalam perbuatan tersebut. Kalau sekiranya ia tidak mampu menasihati atau mencegahnya dengan cara yang baik, maka hendaknya ia pergi dan menghindar darinya. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman (artinya):
“Dan orang-orang yang beriman itu bila mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya, dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, semoga kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Al Qashash: 55).
Dari shahabat Abu Sa`id Al Khudri radhiyallahu `anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذالكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
Namun bila ia ikut larut dalam perbuatan ghibah ini berarti ia pun ridha terhadap kemaksiatan, tentunya hal ini pun dilarang dalam agama.
Para pembaca, karena perbuatan ghibah ini berkaitan dengan erat dengan lisan yang mudah bergerak dan berbicara, maka hendaknya kita selalu memperhatikan apa yang kita ucapkan. Apakah ini mengandung ghibah atau bukan, jangan sampai tak terasa lelah terjatuh dalam perbuatan ghibah. Bila kita bisa menjaga tangan dan lisan dari mengganggu atau menyakiti orang lain, insya Allah kita akan menjadi muslim sejati. Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam bersabda:
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim sejati adalah bila kaum muslimin merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (H.R. Muslim).
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah membaca postingan ini ... Silahkan tinggalkan pesan Anda.