Rakyat Indonesia dalam
pandangan Burhanuddin Muhtadi dijuluki sebagai rakyat yatim piatu. Yatim,
karena pemerintah jarang hadir dalam berbagai permasalahan yang dihadapi publik
tetapi begitu sigap menarik pajak. Piatu, karena partai politik hanya muncul
ketika musim pemilu tiba. Rakyat dihadiahi surplus politisi, tetapi defisit
negarawan. Demikian Burhanuddin Muhtadi menjelaskan dalam William Lidle, dkk
(2011: 145).
Apa yang dikatakan
Burhanuddin, penulis pikir sulit untuk disangkal. Kasus terkuaknya korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di Indonesia, merupakan salah satu
buktinya. Dengan mata telanjang kita menyaksikan betapa lebarnya ketimpangan
sosial yang ada. Kesulitan hidup rakyat, berbanding terbalik dengan kemegahan
dan kegelimangan harta penguasa beserta oligarki yang dibentuknya. Hemat
penulis, hal ini seolah tamparan hebat bagi perjalanan demokrasi yang sudah
diperjuangkan dengan berdarah-darah.
Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi (Ruslan Ismail Mage, 2013: 56), pernah mengungkapkan data yang
mencengangkan bahwa pada Maret 2013 sudah 293 pemimpin daerah (Gubernur, Bupati
dan Walikota) terjerat korupsi. Hal ini diperparah lagi dengan tergodanya 255
anggota legislatif, ikut bersaing mengumpulkan kekayaan dengan jalan cepat
namun tak terhormat. Belum lagi dengan hiasan pemberitaan media mengenai beberapa
petinggi negara seolah beramai-ramai dipanggil KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi).
Memang cukup pahit untuk
ditelan, bangsa yang demikian besar ini harus kelimpungan mencari pemimpin.
Seperti disindir Abdurrahman Wahid (2006: 233), bahwa kehidupan kita yang kering
kerontang ini dipenuhi oleh kegiatan untuk memenuhi dan mempertahankan
kekuasaan, bukannya untuk mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Bahkan menurut
Gusdur (panggilan akrab Abdurrahman Wahid) pola kepemimpinan kita hanya
dipenuhi basa-basi (etiket) yang tidak memberikan jaminan apa-apa kepada kita
sebagai bangsa.
Lebih keras dari Gusdur,
Robinson dan Rafid (2004: 78) yang biasa dikenal sebagai teoritisi kritis,
dengan panjang lebar menyebut Indonesia masih dikuasai oleh oligarki seperti halnya
pada masa orde baru. Para pejabat negara, keluarga yang mengandung unsur bisnis
dan politik serta konglomerat bisnis, bahu-membahu mengeruk kekayaan negara untuk
kepentingan mereka dan golongannya. Jangan-jangan apa yang dikhawatirkan
malaikat ketika Tuhan mengangkat khalifah dari kalangan manusia terjadi. Justru
manusia yang mengedepankan potensi kehewanannya serta kecenderungan untuk
melakukan ifsad dan isfaquddima (pertumpahan darah) yang
berbondong menjadi penguasa.
Kegelisahan ini yang
dirasakan Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, ia pernah membuat
pernyataan bahwa potensi besar yang dimiliki negara kita menguap, hanya
segelintir orang yang menikmatinya. Sedangkan rakyat tetap miskin (Kompas edisi
16 Agustus 2013).
Kedaulatan rakyat yang
bertransformasi menjadi kedaulatan negara, seolah bergesar menjadi kedaulatan
penguasa yang cenderung korup, represif dan kleintelistik. Peningkatan calon
penguasa belum menjanjikan perbaikan, tetapi malah membuat proses rebutan
kue-kue politik semakin menggila. Mungkin hal seperti inilah yang diistilahkan
Said Agil Siradj (1991: 71) sebagai demokrasi semu.
Rasa keadilan rakyat
dicederai. Rakyat yang seharusnya menjadi demos (pemegang kekuasaan) direduksi
hanya menjadi voters (pemilih). Sehingga mereka mulai menolak untuk memberikan
legitimasi politiknya pada para aspiran
kekuasaan dengan memilih abstain.
Hemat penulis, jika hal ini
dibiarkan berlarut-larut, akan membahayakan proses bernegara dan berdemokrasi
yang sedang diperjuangkan. Kepercayaan publik dalam setiap pemilu, termasuk
pemilu yang akan kita hadapi di tahun ini harus ditumbuhkan kembali. Sudah
saatnya seluruh kalangan harus ikut andil sesuai dengan porsinya masing-masing,
termasuk kalangan pesantren.
Pesantren merupakan lembaga
yang memiliki basis massa dan modal sejarah yang sangat kuat, sehingga penulis
berani berhipotesis, bahwa pesantren
akan mampu tampil menjadi solusi terhadap krisis kepemimpinan dan memperbaiki
kualitas demokrasi kita. Persoalannya, pesantren seperti apa yang mampu
menempati posisi seperti itu? Peranan apa yang mungkin diemban oleh pesantren
untuk menyelesaikan persoalan yang
dihadapi? Melalui tulisan ini, diharapkan pesantren transformatif dapat melahirkan
pemimpin ideal harapan agama dan bangsa.
Membaca Indonesia:
Analisa Perjalanan Demokrasi dan Pemimpinnya
Membaca dan menganalisis
proses demokrasi dan pola kepemimpinan para pemimpin masa lalu dan hari ini,
penulis anggap penting dituturkan kepada pembaca. Hal ini menjadi pijakan dalam
usaha mencari serta merumuskan solusi, terhadap persoalan kepemimpinan dan
demokrasi yang sedang kita hadapi. Hal ini karena dalam perjalanan sejarah yang
sudah terlewati, senantiasa ada pelajaran yang mesti direnungkan lalu dipetik
hikmahnya untuk mengarungi masa depan. Senada dengan firman Allah Swt.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada
Allah. Sungguh Allah Maha Teliti apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr
[59]: 18)
Keputusan untuk berdemokrasi
sudah kita ambil sejak negeri ini didirikan (Bondan Gunawan, dalam Sri Sultan
Hamengkubowono X dkk, 2000: 77). Kesadaran untuk membentuk sebuah negara bangsa
atas dasar kedaulatan rakyat, merupakan respon pada ketidak-adilan dan
kesewenang-wenangan yang muncul dari imperialisme kolonial dan kerajaan yang
feodalistik.
Demokrasi yang menawarkan
kedaulatan rakyat dan menghapus feodalisme serta otoritarianisme, seolah menjadi
angin segar bagi founding father bangsa kita kala itu. Bagaimana tidak,
ratusan tahun negara kita dieksploitasi habis-habisan. Selama itu pula,
kemakmuran hanya menjadi utopia tak berwujud. Kemanusiaan bangsa kita
diinjak-injak. Sumber daya alam dikeruk tanpa ampun.
Sulit untuk disangkal, bahwa
janji demokrasi sangat menggiurkan. Mungkin hal ini yang sudah mengilhami para
pendiri bangsa ini. Karena, secara filosofis sebagaimana diungkap Anthony
Giddens (1994: 330), demokrasi adalah menyerahkan kekuasaan kepada rakyat,
bukan kepada kaum bangsawan maupun raja. Sementara demokrasi yang dijelaskan
Said Agil Siradj (1999: 76) bahwa demokrasi menjanjikan tegaknya keadilan,
supremasi hukum, kebebasan berekspresi dan berserikat, persamaan hak,
menjunjung tinggi permusyawaratan, serta memegang teguh hak asasi manusia.
Dengan kata lain, demokrasi
memiliki relevansinya dengan semangat Islam sebagai agama mayoritas bangsa ini.
Agama yang bertujuan membangun tatanan masyarakat yang memiliki jaminan
kebebasan beragama (hifdz al-diin), keselamatan nyawa (hifdz al-nafs),
keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wal ‘irdh), kebebasan berekspresi
dan berserikat (hifdz al-‘aql), dan memelihara harta benda (hifdz
al-maal). Dari beberapa alasan tersebut, penulis cukup sulit untuk menolak
pilihan untuk berdemokrasi. Penolakan terhadap semangat berdemokrasi, hemat
penulis lebih sering muncul karena ketidakmampuan memahami demokrasi dengan
benar dan proporsional.
Semangat demokrasi yang
demikian menjanjikan, dipadukan oleh para pendiri negeri ini, dengan sistem
pemerintahan yang dibangun atas dasar keseimbangan antara kesatuan (unity)
dan perbedaan-keragaman (diversity). Kesadaran untuk membebaskan diri
dari belenggu penjajahan dengan memadukan diri dalam sejoli monodualisme
kekuatan sejarah Indonesia; Bhineka Tunggal Ika. Sebuah harmoni dari dua
pemikiran besar Soekarno dan Muhammad Hatta. Hal ini seperti yang digambarkan
dengan menarik oleh Yudi Latif dalam Kompas edisi 16 Agustus 2013.
Yudi menjelaskan, perjalanan
Indonesia, termasuk perjalanan demokrasinya tidak bisa dilepaskan dari
pergulatannya untuk menyeimbangkan dua hal di atas. Kita bisa memilih
kecenderungan pemerintahan masa-masa awal yang lebih berat pada sisi
kebhinekaan, disusul dengan usaha penguatan persatuan dan kesatuan oleh
Soekarno yang mengusung pembubaran parpol dan diikuti dengan mundurnya Bung
Hatta sebagai Wakil Presiden tahun 1956. Hal ini senada dengan Lidle (2012: 76)
yang berkesimpulan bahwa proses demokrasi pada masa awal kemerdekaan berjalan
sampai tahun 1956, setelah itu demokrasi tidak berjalan. Tetapi berubah menjadi
otoritarianisme kekuasaan personal Soekarno sampai tahun 1965. Lalu dilanjutkan
oleh Soeharto sampai tahun 1998.
Masa orde lama, orde baru
dan reformasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sudah banyak dikaji
para ilmuwan politik. William Lidle (2012: 89) misalnya. Ia cenderung melihat
pergerakan bangsa ini ditentukan oleh individu pemimpin sebagai aktor utama.
Lidle menyebut Soekarno sebagai aktor dari orde lama, Soeharto sebagai pemegang
kendali perjalanan orde baru, dan aktor-aktor individu yang sudah
terfragmentasi menjadi aktor utama dalam orde reformasi. Senada dengan Lidle,
Abdul Munir Mulkhan (2003: 277) menyebut peran pemimpin sangat vital. Baginya,
sistem tanpa pemimpin hanyalah utopia kosong.
Perhatian Lidle pada peran
individu dalam setiap pergulatan politik Indonesia, mendorong untuk memberi
analisis terhadap para pemimpin bangsa ini. Dengan menggunakan beberapa
kepemimpinan, terutama yang dicetuskan oleh James Mc Burns (2010: 85) dalam
bukunya yang berpengaruh, Leadership, Lidle membagi pemimpin dalam dua
kategori. Yakni pemimpin transaksional dan pemimpin transformatif.
Menurut Lidle (2012: 122),
Soekarno adalah salah satu pemimpin yang transformatif sampai tahun 1949. Soeharto
berhasil mentransformasikan ekonomi
Indonesia, namun dengan ongkos refresifnya tinggi. Adapun BJ. Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono
merupakan presiden transaksional.
Dari analisa Lidle di atas,
Burhanuddin Muhtadi dalam William Lidle (2012: 145) menyebut bangsa kita sedang
mengalami krisis kepemimpinan transformatif. Dalam sistem presidensial dengan
citra rasa parlementer multi partai, rentan mengarah pada kepemimpinan
transaksional. Kepemimpinan yang melibatkan hubungan pemimpin dengan pemilih
maupun elit lainnya, dibangun atas dasar pragmatisme dan umpan balik negatif.
Hubungan elit dengan konstituen dirusak olek transaksi ekonomi bukan pertukaran
gagasan.
Kondisi ini, hemat penulis
langsung maupun tidak, sudah merusak tatanan demokrasi dan kehidupan negara
kita. Tokoh yang memiliki peluang untuk memimpin, hanya mereka yang memiliki
kelebihan secara finansial. Hal ini pula, selain sebab lainnya, membuat cara
berpikir sebagai konstituen ikut rusak.
Gambaran di atas menunjukkan
adanya ketidakmerataan sumber daya politik yang tentunya menjadi tantangan
tersendiri bagi para elit politik kita. Kehadiran para elit politik lokal yang
masih cenderung korup, represif dan kleintelistik serta gandrung dengan politik
uang harus menjadi perhatian khusus. Di samping itu pula, melemahnya kekuatan negara dan partisipasi politik
publik (kaum populer) merupakan persoalan lain.
Hemat penulis, hal inilah yang
menjadi tantangan bagi calon pemimpin kita hari ini. Selain itu, ini menjadi
bekal bagi rakyat kita sebagai pemegang kedaulatan, agar tidak salah dan
gegabah dalam mengambil tindakan.
Islam, Negara dan Kepemimpinan
Pembicaraan mengenal politik
dan pemerintahan dalam kaitannya dengan Islam, merupakan bahan diskusi yang
berkepanjangan di kalangan pemikir Islam sepanjang masa. Jika ditelusuri,
terdapat tiga paradigma berpikir yang menjelaskan hubungan Islam dengan negara.
Paradigma pertama,
menyatakan bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Hal ini didasarkan pada kesadaran
bahwa Islam merupakan agama serba lengkap, termasuk paham kenegaraan
atau politik. Selain itu, menurut kelompok ini, ada sistem kenegaraan atau
politik Islami yang mesti dijadikan pedoman, yakni masa nabi Muhammad saw. dan
para khulafa al-rasyidin (Munawir Syadzali, 1990: 1). Tokohnya seperti Sayyid
Quthb, Al-Maududi dan M. Rasyid Ridha.
Paradigma kedua, memandang
antara agama dan negara tidak memiliki hubungan sama sekali. Tokohnya seperti
Ali Abdul Raziq dan Dr. Thaha Hasan. Menurut kelompok ini, nabi Muhammad saw.
diutus seperti para rasul sebelumnya yang ditugaskan untuk mengajak umat menuju
kehidupan yang lebih baik atas dasar budi pekerti, dan tidak pernah dimaksudkan
untuk mendirikan suatu negara (Munawir Syadzali, 1990: 1). Selain itu di dalam
Al-Qur’an dan hadis tidak ditemukan petunjuk secara eksplisit tentang sistem
pemerintahan tertentu (Ali Abdul Raziq, 1972: 72).
Adapun paradigma ketiga,
menyebut agama dan negara memiliki hubungan simbiotik. Yaitu hubungan
timbal-balik dan saling memerlukan. Agar lebih berkembang, agama membutuhkan
negara. Sebaliknya, negara membutuhkan agama untuk bimbingan dan etika serta
moral. Kelompok ini tidak menunjuk sebuah sistem pemerintahan atau negara
tertentu (Munawir Syadzali, 1990: 1). Paradigma ini diusung oleh Al-Ghazali,
seperti dalam karyanya Nasihat al-Muluk, Al-Mawardi dalam al-Ahkam
al-Sulthaniyah.
Perbedaan pemikiran para
ulama dan kalangan cendekiawan mengenai hubungan agama dan negara, pada
akhirnya sampai pada sebuah kesepakatan bahwa manusia membutuhkan, bahkan
cenderung mewajibkan pendirian sebuah negara. Negara sebagai manifestasi dari
kebaikan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk mewujudkan kebaikan
bersama, baik dunia maupun akhirat.
Untuk mencapai kebaikan
bersama melalui sebuah negara, tentunya menuntut adanya prinsip-prinsip dalam
bernegara. Apa pun jenis negaranya. Said Agil Siradj (1999: 45) misalnya
menuntut pelaku negara untuk berpegang teguh terhadap moralitas politik atau akhlaqul
imamah wal ummah (moral pemimpin dan rakyat), agar mampu mencapai
kemaslahatan bersama. Dengan mengutip sebuah kaidah fikih, bahwa kebijakan
negara atas rakyat senantiasa harus mengedepankan kemaslahatan (Tasharruful
imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil mashlahah).
Ajaran Islam menurut Dawam
Rahardjo (2013: 67) memberikan ilham politik, bahkan dalam menghadapi
kolonialisme. Islam ditangkap sebagai agama yang revolusioner yang dalam
sejarah negara telah menimbulkan pemberontakan-pemberontakan lokal yang bertema
pembebasan. Dalam hal ini, Islam memberi porsi yang proporsional bagi individu
dan masyarakat.
Arah gerakan politik Islam,
seperti diungkap Kuntowijoyo (1999: 47) didasari atas kesadaran akan kebenaran,
bukan karena kelas atau hanya kepentingan material lainnya. Tidak seperti
kapitalisme, tidak juga seperti sosialisme, meskipun dalam beberapa hal
memiliki kemiripan.
Islam memandang penting
peran pemimpin sebagai elit suatu komunitas. Bahkan mengharuskan mengangkat
seorang pemimpin dari rombongan yang
hanya terdiri dari tiga orang. Bahkan menurut Mulkhan (2004: 277), sebuah bangsa
atau agama akan tenggelam dalam pusaran sejarahnya sendiri tanpa kehadiran
pemimpin, rasul, nabi atau pembaharu. Namun demikian, Islam tidak berhenti di
sini. Peran struktur dan pergerakan publik pun memiliki tempat tersendiri.
Dalam Islam, seperti
dijelaskan oleh Imam Syafi’i (Said Agil Siradj, 1999: 4), bahwa posisi
penyelenggaraan negara termasuk pemimpin atas rakyat menempati posisi wali atas
anak yatim. Jadi, penguasa tidak sepenuhnya bebas melakukan apa pun, atau
kebanggaan yang melahirkan kesombongan. Melainkan, tidak lebih sebagai amanah
(kepercayaan) atau wakalah (perwakilan) dari rakyat yang dikukuhkan dalam
sebuah perjanjian yang biasa disebut bai’ah (M. Quraish Shihab, 2003: 425).
Posisi pemimpin seperti
dijelaskan Imam Syafi’i di atas, mengandung konsekuensi logis akan kebutuhan
kriteria khusus bagi pemimpin menurut Islam. Dalam hal ini, kita bisa melihat
kembali tawaran Al-Qur’an mengenai prinsip-prinsip sebuah negara. Bahwa pada
hakikatnya, pemimpin harus memiliki keshalehan individu, kepekaan sosial,
kecakapan dalam hal menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar, memegang
kepercayaan publik, menginspirasi, berdiri di atas semua golongan, egaliter,
dan mengaktualisasikan kepentingan rakyat sesuai aturan. Seperti dijelaskan
Al-Qur’an:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila
kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan
adil. Sungguh Allah sebaik-baiknya yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh
Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisaa [4]: 58).
Menyampaikan amanat
(kepentingan masyarakat) kepada yang berhak menerimanya dan menetapkan hukum
dengan adil, merupakan salah satu kunci dari keberhasilan sebuah kepemimpinan.
Keduanya merupakan kulminasi dari berbagai prinsip kepemimpinan ideal.
Hal ini tidak bisa
terlaksana, jika sang pemimpin masih terjebak dalam subjektifitas dan selalu
mementingkan kelompoknya sendiri. Karena keberhasilan melaksanakan keduanya
adalah bukti dari capaian keshalehan individu, kecakapan sosial, dan daya tahan
dari segala macam godaan. Karakteristik ini, diistilahkan dengan akhlaqul
karimah. Senada dengan firman Allah Swt.:
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ
الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
Artinya: “(Yaitu)
orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di muka bumi, mereka melaksanakan
shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang
munkar, dan kepada Allahlah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj [22]: 41).
Apa yang ditawarkan
Al-Qur’an, jika ditelaah dengan seksama, semangatnya merupakan jawaban terhadap
berbagai persoalan kita hari ini. Janji relevansi dan universalitas Al-Qur’an
yang melampaui setiap zaman dan tempat, lagi-lagi tidak bisa disangkal. Tugas
kita tinggal mengaktualisasikan menjadi tindakan nyata yang sesuai dengan
kondisi yang dihadapi.
Pesantren Transformatif:
Tradisi dan Semangat Kebaruan
Salah satu lembaga yang
masih bisa diharapkan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ideal Al-Qur’an
mengenai negara, kepemimpinan, moral politik dan persoalan sejenis adalah
pesantren. Sebuah lembaga yang menurut Djohan Effendi (Pengantar dalam Hasbi
Indra, 2003: 27) layak disebut kampung peradaban. Lembaga pendidikan tertua dan
khas Indonesia (Faiqoh, 2003: 139) yang didirikan untuk mendidik masyarakat dan
menyosialisasikan ajaran Islam ke dalam tata nilai masyarakat lokal pada aspek
kehidupan. Bahkan Zamakhsari Dhofier (1982: 18) menyebutnya sebagai ujung
tombak dan lembaga yang paling bertanggung jawab atas penyebaran Islam di
Indonesia.
Modal sejarah yang cukup
panjang, ditambah dengan basis massa yang sangat banyak, serta bukti pengaruh
yang besar dalam kehidupan masyarakat kita, merupakan sebagai alasan kuat untuk
menaruh harapan besar pada pesantren. Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH.
Hasyim Asy’ari pada tahun 1945 misalnya, menjadi salah satu fakta sejarah yang
tidak bisa disangkal mengenai besarnya peran lembaga ini dalam membangun dan
mengawal bangsa Indonesia (As’ad Said Ali, 2008: 40). Agaknya tidak bisa
disangkal bahwa heroisme kebangsaan dan intelektualisme keagamaan kalangan pesantren merupakan dua hal yang
patut dipertimbangkan.
Karakteristik pesantren
secara umum, seperti pendidikan tradisional, interaksi selama 24 jam, cara
pandang yang khas terhadap dunia, penekanan moral, serta unsur-unsur utama yang
disebutkan oleh Dhofier (1982: 6) yang terdiri dari pondok, masjid, santri, kiai,
pengajaran kitab klasik, merupakan ciri khas dari pesantren. Ciri-ciri
inilah yang biasa digunakan untuk
menunjukkan sebuah lembaga pesantren.
Jika ditelaah, keistimewaan
pesantren terletak pada penanaman aspek moral. Lulusan dari pesantren, idealnya
dipercaya memiliki nilai moral yang lebih baik. Penanaman sikap tulus ikhlas,
sabar, tawakal, tawadhu, kejujuran dan independensi di pesantren, menurut Said
Agil Siradj (1999: 149) merupakan modal utama untuk menyelamatkan bangsa ini
dari bencana erosi akhlak dan dekadensi moral.
Sikap warga pesantren yang
cenderung memandang dunia hanya sebagai alat untuk mendapatkan akhirat
merupakan pijakan yang sangat penting untuk menjawab berbagai persoalan negeri
ini. Karena, hemat penulis berbagai persoalan kronis yang mendera bangsa ini,
terutama krisis kepemimpinan, penyebab utamanya adalah anggapan kita terhadap
dunia sebagai segala-galanya. Sehingga untuk mendapatkannya boleh melakukan apa
pun.
Beragam nilai ideal
pesantren ini, mau tidak mau harus mampu menyesuaikan diri dengan tantangan
zaman yang dihadapi. Santri sebagai lulusan pesantren, yang menurut Gertz
(1989: 268) dalam arti luas diartikan sebagai muslim taat beragama. Sehingga
nuansa keagamaan akan senantiasa menghiasi perilaku kesehariannya.
Berangkat dari kesadaran di
atas, pesantren yang penulis mampu menjawab persoalan bangsa ini, terkait
dengan persoalan kepemimpinan dan politik, tentunya bukan pesantren yang tidak
mampu menyesuaikan diri dari tantangan zaman dan hanya larut dalam romantisme
sejarah. Tetapi pesantren yang mampu mempertahankan nilai-nilai idealitas
pesantren, serta tidak gagu terhadap
persoalan yang tengah hadir. Di samping itu, ia mampu meramu nilai-nilai lama
dengan berbagai temuan baru yang lebih relevan dengan zaman. Sesuai dengan
adagium yang selama ini didendangkan oleh kalangan pesantren sendiri. Yaitu,
mempertahankan nilai lama yang masih baik, serta mencari dan mengadopsi nilai
baru yang lebih baik.
Pesantren seperti inilah
yang diistilahkan sebagai pesantren transformatif. Kemampuan pesantren dalam
melahirkan subkultural sendiri seperti disebut Abdurrahman Wahid (1988: 156)
ditambah dengan peran kiai yang mampu memposisikan diri sebagai guru, pemandu
hidup, penjaga moral serta transmisi kultural secara sekaligus sangat berpotensi
untuk melakukan kaderisasi pemimpin politik. Sekaligus memberikan pendidikan
politik yang berkualitas kepada santri dan masyarakat, juga sebagai pusat
spiritual.
Peran ini menuntut kiai
untuk menggawangi pesantrennya. Memegang teguh tanggung jawab moral
kemasyarakatan dan tidak tergiur untuk loncat pagar terjun ke dalam politik
praktis. Atau hanya menjadi legitimasi terhadap kesalahan pemimpin yang
dianggap memberikan keuntungan finansial.
Pesantren transformatif
merupakan ikhtiar untuk menjadikan pesantren dengan segala kekuatan yang
dimilikinya. Dalam hal ini pesantren transformatif merupakan antitesis dari
pesantren konvensional yang cenderung sederhana dan menutup diri dari
perkembangan zaman. Juga merupakan lawan dari pesantren transaksional yang sudah
terjebak menjadi sumber daya politik dan tereduksi hanya sebagai komoditas
ekonomi.
Istilah transformasi
seringkali dimunculkan oleh Lyotard (1996: 9) ketika membahas wacana
posmodernisme sebagai lawan dari modernisme. Secara leksikal, transformasi terdiri
dari kata “trans” yaitu suatu perpindahan atau gerak yang melampaui yang sudah
ada. Sementara “formasi” berarti bentuk atau sistem yang ada. Sementara
tambahan kata “transformatif” setelah kata pesantren merupakan penegasan bahwa
segala nilai dan tindakan ideal pesantren sebagaimana dijelaskan di muka dapat
melampaui batas-batas kedirian (individu) pesantren. Semua idealitas yang
dimilikinya bukan sekedar untuk dirinya, melainkan juga bagi yang lain.
Dalam hal ini, pesantren
diharapkan memiliki semangat aktualisasi dan transformasi dari berbagai
kesadaran positif yang dimiliki, menjadi tindakan nyata dan menebar manfaatnya
pada pihak lain. Khususnya kalangan mustadh’afin (kaum marjinal).
Misalnya, dalam konsep kebebasan. Bagi pesantren transformatif kesadaran
mengenai kebebasan itu penting, namun semangat tindakan untuk membebaskan orang
lain jauh lebih penting.
Jika dihubungkan dengan
pesantren, hal ini mengandung konsekuensi terhadap isi materi yang disampaikan
kepada santri, metode penyampaian materi dan kepedulian pesantren terhadap
kehidupan sekitar dan berbagai problem sosial. Pesantren ini menjadi salah satu
media untunk mengejawentahkan nilai profetik Islam yang diemban oleh nabi
Muhammad saw. yakni merespon terhadap penyimpangan tauhid dan ketimpangan
sosial dengan pendekatan kultural yang didasarkan pada liberalisasi,
humanisasi, dan transendensi.
Pada wilayah isi, pesantren
ini tidak hanya terfokus pada kajian ilmu agama tradisional. Melainkan, seluruh
kalangan pesantren harus sudah mulai peka dan tidak memandang tabu terhadap
persoalan-persoalan aktual, seperti demokrasi, hak asasi manusia, toleransi,
leadership, jurnalistik, pemberdayaan ekonomi dan sejenisnya.
Sistem pembelajarannya,
memiliki acuan yang jelas. Termasuk kurikulum yang diajarkannya bersifat
fleksibel. Artinya, dapat mengikuti perkembangan dan perubahan zaman dengan
senantiasa mengindahkan nilai-nilai qurani. Sehingga santri akan mendapatkan
pembelajaran yang tidak hanya muatan-muatan agama akan tetapi mengenal berbagai
khazanah keilmuan. Pada akhirnya mereka mampu mendialogkan segala sesuatu
dengan paradigma yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam.
Dalam hal metodologi
penyampaian materi, pesantren transformatif harus mampu memadukan metodologi
yang lama dengan pendekatan baru yang tidak monoton, top-down, guruisme,
sentralistik, uniform, eksklusif dan indoktrinatif. Kelebihan prinsip
pesantren, yang menurut Mastuhu sebagaimana dikutip Hasbi Indra (2003: 20)
terdiri dari prinsip wisdom, bebas terpimpin, self-goverment dan
kolektivisme, harus mampu disintesiskan dengan pendekatan baru, sehingga mampu
melahirkan metode baru yang lebih relevan dengan zaman.
Kaitannya dengan persoalan
politik, pesantren transformatif menjadi media untuk mengambil peran sebagai
kaderisasi pemimpin sekaligus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Lebih dari itu, ia mampu mengambil peran dalam melakukan pendampingan terhadap
aneka kebijakan publik, serta melakukan pengawalan terhadap kaum tertindas.
Epilog: Pemimpin Ideal
berwujud, diimbangi Demokrasi lebih baik
Krisis kepemimpinan yang
mendera bangsa Indonesia, sejatinya dapat diatasi dengan segera. Agar tidak ada
pihak yang menjadi korban. Tentunya perlu dilakukan upaya penyembuhan yang
tepat mengenai permasalahan yang tengah melanda. Kehadiran pemimpin dalam
sebuah negara dapat dikatakan sebagai motor penggerak maju mundurnya suatu
negara. Sehingga yang mayoritas muslim, dapat mewujudkan pemimpin yang
diharapkannya. Yaitu pemimpin yang hadir dalam bingkai nilai-nilai Islami
sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah saw.
Kehadiran pemimpin yang
didambakan tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu ada proses
dan upaya dari berbagai pihak untuk mewujudkannya. Salah satunya peran lembaga
pesantren. Pesantren dipercaya mampu melahirkan tipologi pemimpin yang
diharapkan itu. Dalam hal ini, pesantren yang dapat menjaga nilai-nilai
tradisinya, serta didukung dengan kemauan dan kemampuan menjawab persoalan
aktual. Dari sana akan lahir pemimpin ideal serta kader demokrasi yang handal.
Pemimpin yang sudah mencapai
derajat tidak terpengaruh oleh apa pun, memandang dunia sebagai senda gurau
serta menganggapnya sebagai permainan belaka. Sosok pemimpin yang adil
egaliter, jujur, merakyat, bebas dari tipologi transaksional dan mampu
menginspirasi rakyatnya. Dengan semangat pesantren transformatif, diharapkan
akan hadir pemimpin yang mencerahkan. Sehingga persoalan krisis kepemimpinan
serta berbagai krisis turunannya dapat teratasi. Dengan demikian baldatun
thayyibatun warabbun ghafur di bawah naungan pemimpin yang didambakan
rakyatnya segera tercipta. Semoga! []
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan terjemah
Alfian, Pemikiran dan
Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1986.
Ali, Abdul Raziq, Al Islam
wa Ushul al Hukm, Beirut: Darul Fikr, 1972.
Ali, As’ad Said, Pergolakan
di Jantung Tradisi, Jakarta: LP3ES, 2008.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi
Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1982.
Faiqoh, Nyai Agen Perubahan
di Pesantren, Jakarta: Kucica, 2003.
Gertz, Ciffort, Abangan,
Santrim Priyayi, Jakarta: Pustaka Jaya, 2003.
Hamengkubuwono X, Sri
Sultan, dkk., Indonesia Berkaca, Yogyakarta: Forum LSDM DIY, 2009.
Indra, Hasbi, Pesantren dan
Transformasi Sosial, Jakarta: Paramadina, 2003.
Ismail, Mage Ruslan,
Berpolitik Dengan Biaya Murah, Jakarta: Sipil Institut, 2013.
James, M. Burn, Leadership,
New York: Harper and Row, 1978.
Kuntowijoyo, Identitas
Politik Umat Islam, Cet. III, Bandung: Mizan, 1999.
Lidle, William, dkk.,
Memperbaiki Mutu Demokrasi Indonesia, Jakarta: Paramadina Press, 2012.
Mulkhan, Abdul Munir, Moral
Politik Santri: Agama dan Pembebasan Kaum Tertindas, Jakarta: Erlangga, 2003.
Shihab, Quraish, Wawasan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2003.
Siradj, Said Agil, Islam
Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.
Syadzali, Munawir, Islam dan
Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990.
Wahid, Abdurrahman, Pesantren
Sebagai Subkultural, Yogyakarta: LKIS, 1998.
Wahid, Abdurrahman, Islamku,
Islam Anda, Islam Kita, Yogyakarta: LKIS, 2006.
Surat Kabar:
Kompas Edisi 16 Agustus
2013.
*Tulisan ini dilombakan pada event MTQ cabang MMQ
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah membaca postingan ini ... Silahkan tinggalkan pesan Anda.