Monday, April 07, 2014

Fenomena Golput Dalam Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia: Sebuah Korelasi Kajian Islam Terhadap Pemilu

Pemilihan Umum (Pemilu), merupakan prasyarat penting dalam bangunan demokrasi. Pemilihan umum juga merupakan wadah bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Pemilihan umum –baik pilkada, pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden-, merupakan serangkaian pemilihan yang dalam penyelenggaraannya dijamin oleh undang-undang nomor 15 tahun 2011. Sehingga, desain pemilu yang dilaksanakan, selalu mengalami perubahan. Atau hampir dapat dikatakan, sistem pemilu di Indonesia tidak tuntas karena setiap kali penyelenggaraan pemilu mekanismenya selalu dirubah sesuai dengan kebutuhan zaman.


Sebagai wadah aspirasi bagi masyarakat, pemilu diharapkan dapat tampil di tengah-tengah rakyat Indonesia yang plural dengan baik. Aspirasi yang dilakukan oleh rakyat, dimaksudkan agar terjadi sinergitas yang positif antara proses dengan hasil. Artinya, aspirasi rakyat merupakan “ruh” dalam pelaksanaan Indonesia ke depan.

Akan tetapi, pelaksanaan pemilu pada saat ini, dirasakan hanyalah satu babak dari kisah “bongkar pasang” pesta para “petualang-petualang” politik. Akibatnya, permasalahan dalam pelaksanaan pemilu pun selalu muncul, mulai dari masalah money politic, black campaign, kampanye terselubung, kemunafikan atau hipokrisi, dan berbagai permasalahan lain yang menjadi “asam garam” dalam pelaksanaan pemilu. Dan yang paling mencengangkan, dalam tingkatan masyarakat, masih rendahnya tingkat aspirasi yang dikeluarkan dalam pelaksanaan pemilu, dan fenomena ini dalam pelaksanaan pemilu disebut dengan golput.

Fenomena golongan putih atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan golput, disinyalir selalu menyeruak kepermukaan jagat politik negeri ini setiap kali hajatan demokrasi berlangsung –baik dalam pemilihan bupati/walikota, gubernur, anggota legislatif, dan presiden maupun wakil presiden-.

Entah mengapa hal itu seakan-akan menjadi “hantu” yang menakutkan bagi arah konsolidasi demokrasi Indonesia ke depan. Sampai-sampai, pernah suatu ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput. Akan tetapi, dalam setiap ajang pesta demokrasi angka golput terus merangkak naik.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebagaimana dikutip oleh Suara Islam edisi ke-147 menyebutkan: Angka golput dalam pelaksanaan pemilu cenderung naik dalam setiap pelaksanaannya, sebanyak 6,46 persen angka golput di tahun 1971, 8,40 persen di tahun 1977, kemudian 8,53 persen pada tahun 1982, kemudian 8,69 persen di tahun 1987, selanjutnya 9,09 persen pada pelaksanaan pemilu tahun 1992, kemudian 9,42 persen pada tahun 1997, kemudian 10,21 persen pada tahun 1999, selanjutnya meningkat menjadi 23,34 persen pada tahun 2004, dan pada tahun 2009, angka golput mencapai 39,01 persen.

Keadaan tersebut tentu sangat membingungkan, pasalnya, di tengah-tengah kesibukan partai politik dan elitnya melakukan jurus beauty contest, memoles diri dan partainya untuk meraih simpati agar dipilih dalam pemilihan umum, namun ternyata rakyat masih biasa saja dalam menyambutnya.

Cermin bening ini mengapung dengan jelas. Masyarakat masih dibekap dengan pelbagai persoalan yang mendidih, sehingga penyelenggaraan pemilu bagi pelaksana golput, tidak ada pengaruh serta daya gedor dalam memunculkan kepemimpinan yang memiliki “cakrawala” ke-umatan yang komprehensif.

Maka dalam menyikapi fenomena yang terjadi saat ini, diperlukan formulasi agar pelaksanaan pemilu lebih bermartabat, serta mendapatkan aspirasi penuh dari masyarakat. Maka, fokus kajian ini adalah: Bagaimanakah kajian golput dalam historis dan teologis? Kemudian, seperti apakah akar penyebab timbulnya golput? Kemudian, eksistensi pemimpin dalam pandangan Islam, serta bagaimanakah nafas Islam dalam moralitas pemilu?

Golput Dalam Kajian Historis dan Teologis

Pemilihan umum dalam sebuah negara demokrasi, sudah menjadi rutinitas dalam menentukan regenerasi kepemimpinan. Partisipasi politik khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum merupakan kunci menuju pemerintahan yang demokratis. Pada momen pemilu itulah, masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya.

Di Indonesia menurut Badri Khairuman (2004: 39), sejak paska kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah mengalami 10 kali pemilihan umum. Pemilihan pertama dilaksanakan pada tahun 1955 yang diikuti oleh 172 kontestan pemilu. Kemudian pada masa orde baru, pemilu dilaksanakan sebanyak enakm kali, yakni pemilu tahun 1971 yang hanya diikuti oleh 10 (sepuluh) kontestan, kemudian dilanjutkan pemilu tahun 1977, 1987, 1992, 1997 yang hanya diikuti oleh 3 (tiga) kontestan yaitu: Golkar, PPP, PDI.

Selanjutnya, paska orde baru bangsa Indonesia telah mengalami 3 (tiga) kali pemilihan, yakni pemilu tahun 1999, 2004 dan pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2009.

Namun, dibalik cerita penyelenggaraan pemilu tersebut, terdapat satu isu penting, yaitu gerakan moral yang memboikot pemilu, dengan cara tidak menggunakan hak suaranya pada saat pemilu tiba, dan gerakan ini lebih dikenal dengan istilah golput. Dalam kajian Arif Budiman (2006: 105), fenomena ini terjadi karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kepemimpinan yang dihadapi, sehingga dari mulai adanya pemilu sampai saat ini, fenomena golput akan selalu “melangit” sebagaimana calon pemimpin yang terus bermunculan.

Dalam pandangan Arbi Sanit (1992: 32), bahwa golput adalah usaha sadar untuk tidak memilih. Ini menandakan bahwa golput bukan hanya gerakan protes yang dilakukan oleh masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat kritis pada khususnya, akan tetapi golput telah menyatu ke berbagai kalangan, dengan memperbaiki serta mencari alternatif dalam rangka penyempurnaan sistem politik di Indonesia.

Dalam kajian Islam, golput dikelompokan kepada orang yang tidak mendukung kepada penegakanamar ma’ruf (memerintah kepada kebaikan) dan nahyi munkar (mencegah kepada kemunkaran). Sebab perlakuan tersebut tidak akan terwujud, apabila tidak ada orang yang memberikan komando (pemimpin), sedangkan pemimpin di Indonesia dihasilkan melalui pemilu.

Rapung Samuddin (2013: 324) berpendapat, meskipun dalam konsep Islam terdapat istilah wajib aini (kewajiban yang harus dilaksanakan oleh sendiri dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain) serta kewajiban kifai (kewajiban yang dapat gugur, ketika sebagian orang sudah melaksanakannya). Apabila ada anggapan, bahwa memilih pemimpin cukup oleh sebagian rakyat, sebagaimana kewajiban kifai, maka tidak dapat menggugurkan kewajibannya oleh karena diwakili oleh orang lain (memilih golput).

Apabila kita perhatikan ayat Al-Qur’an QS. Al-Anfal [8]:  25, bahwa akibat dari berdiam diri, tidak ikut serta dalam pencegahan fitnah, maka kita tetap akan terkena fitnah tersebut: وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب

Artinya: “Dan peliharalah dirimu pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal [8]: 25).

Dari ayat tersebut, apabila kita mencoba menarik pada kegiatan pemilu, maka akan dapat dipahami bahwa orang yang berdiam diri, tidak ikut serta dalam penyelenggaraan pemilu, ketika yang terpilih ternyata pemimpin yang tidak bertanggung jawab, maka bukan tidak mungkin, adzab atau akibat yang dirasakan bukan hanya oleh orang yang tidak mendukung pemilu, tetapi juga pada semua bangsa Indonesia.

Dengan demikian, pemilihan umum sebagai salah satu cara dalam menyampaikan aspirasi rakyat dan sebagai cermin negara demokrasi, hendaknya mampu menyelenggarakan pemilu secara demokratis yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat. Sehingga, angka golput yang setiap tahunnya selalu merangkak naik tersebut, dapat berkurang bahkan melakukan aspirasi secara penuh dari semua kalangan masyarakat (tidak golput).

Sejarah panjang golput di Indonesia, menunjukan betapa rendahnya aspirasi masyarakat dalam memberikan kontribusi aktif terhadap pelaksanaan pemilu.

Akar Penyebab dan Klasifikasi Golput

Golput yang selama ini terjadi, menyeruak kepermukaan bukan tanpa sebab. Arbi Sanit (1992: 73) menyebutkan, bahwa setidaknya terdapat tiga faktor terjadinya golput di Indonesia:

Pertama, apatis (masa bodoh). Sikap ini terjadi dari ketertutupan terhadap rangsangan politik, baginya politik tidak memberikan manfaat dan kepuasaan, sehingga golongan ini tidak mempunyai minat dan perhatian terhadap politik.

Kedua, anomi (terpisah). Sikap ini merujuk kepada sikap ketidakmampuan, terutama kepada keputusan yang diantisipasi. Faktor kedua ini masih mengakui bahwa kegiatan politik adalah sesuatu yang berguna, akan tetapi pengakuan tersebut tidak dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa dan kekuatan-kekuatan politik pada faktor kedua ini.

Ketiga, alienasi (terasing). Sikap ini berbeda dengan sikap apatis dan anomi. Alienasi merupakan sikap tidak percaya pada pemerintah, yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak mempunyai dampak terhadap dirinya.

Itulah faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi golput. Sehingga, dari faktor-faktor tersebut, kemudian memunculkan pengklasifikasian dalam masalah golput.

Klasifikasi tersebut adalah: Pertama, golput teknis. Yaitu golput yang disebabkan oleh kendala teknis, seperti keliru menandai surat suara atau tidak hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, golput teknis politis. Yaitu seseorang tidak memilih karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ketiga, golput politis. Yaitu merasa tidak mempunyai pilihan dari kandidat yang tersedia, atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa kepada perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis. Yaitu golput yang beranggapan bahwa demokrasi dalam mekanismenya tidak dapat dipercaya.

Uraian tersebut memberikan gambaran, betapa potret eksternal dan internal, dapat mempengaruhi seseorang untuk tidak menyalurkan aspirasinya (golput). Tentunya ini menjadi perhatian, bahwa golput dapat terjadi dan terus akan terjadi, apabila faktor-faktor dan klasifikasi golput tersebut terus dibiarkan.

Eksistensi Pemimpin Dalam Pandangan Islam

Di dalam konsep (manhaj) Islam, seorang pemimpin memiliki kedudukan yang vital dan fundamental. Dalam kehidupan berjamaah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan seluruh anggotanya.

Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan arah perjalanan umatnya. Apabila seorang pemimpin memiliki jiwa prima, produktif, cakap dalam pengembangan, pembangkitan daya juang dan kreatifitas amaliyah, maka dapat dipastikan, perjalanan umatnya akan mencapai titik keberhasilan. Sebaliknya, jika suatu jamaah dipimpin oleh orang yang memiliki kelemahan; baik dalam keilmuan, manajerial, tanggung jawab serta lebih mengutamakan hawa nafsu, maka dapat dipastikan bangunan jamaah akan mengalami kemunduran bahkan kehancuran.

Demikian, betapa urgennya keberadaan seorang pemimpin. Salah seorang penyair jahiliyah, Al-Afwah  Al-Audi dalam Al-Mawardi berkata:

“Manusia itu dalam keadaan kacau jika tidak ada orang yang mulia di antara mereka, dan mereka tidak mulia jika orang-orang bodohnya berkuasa” (Al-Mawardi, 2013: 1).

Ungkapan syair tersebut menggambarkan betapa keadaan seorang pemimpin dalam suatu kelompok sangat dibutuhkan, baik keluarga, masyarakat ataupun suatu bangsa perlu adanya pemimpin yang dapat mengatur dan menstabilkan kehidupan anggotanya.

Pemimpin dalam pandangan Al-Qur’an, terdapat beberapa istilah dalam penyebutannya, diantaranya:

Imamah. Imamah dalam kajian semantik merupakan isim mashdar (kata benda abstrak) yang terambil dari kata amma yaummu, yang berarti menuju, meneladani dan memimpin (Muhadi Zainudin, 2008: 32). Kemudian dari kata ini muncul kata imam, yang dapat diartikan pemimpin atau orang yang memimpin, karena seorang pemimpin biasanya dia diteladani, maka dia selalu berada di depan (Quraisy Syihab, 2007: 242).

Mengenai kata imam atau imamah, Al-Qur’an bernarasi diantaranya dalam surat Al-Baqarah [2]: 124:

وَإِذِ ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangannya), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(dan saya mohon) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang dzalim’”. (QS. Al-Baqarah [2]: 124).

Selain kata imamah, Al-Qur’an juga menyebut dengan kata “khalifah”. Kata khalifah berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, dan diartikan juga dengan mengganti. Kemudian dari katakhalafa muncul kata “khalifah” yang berarti pengganti atau orang yang mengganti. Karena biasanya yang menggantikan selalu berada di belakang atau datang setelah yang digantikannya. (Quraisy Syihab, 2007: 254).

Ungkapan Al-Qur’an mengenai khalifah, salah satunya dapat kita jumpai pada surat Al-Baqarah ayat 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan kepadanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji Engkau dan mensucikan Engkau?. Tuhan Berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’”. (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Dari kedua ayat tersebut, memberikan pemahaman bahwa eksistensi dari keberadaan di bumi, merupakan  kehendak yang tidak dapat dipungkiri. Ungkapan ini terlihat dari ayat Al-Qur’an tersebut. Bahwa pada dasarnya seluruh manusia adalah khalifah atau penerus Nabi Muhammad Saw. Dalam perkembangannya, apakah akan menjadi imam bagi orang lain atau hanya bagi dirinya sendiri.

Eksistensi seorang pemimpin dengan menggunakan kata imamah dan khalifah, merujuk kepada pemahaman bahwa seorang pemimpin terkadang berada di depan untuk mengajak, melayani, dan terkadang berada di belakang untuk memotivasi dan sebagainya.

Selain Al-Qur’an menggunakan kata imamah dan khalifah, pada ayat yang lain Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah “ulil amri”:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasulnya dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu...” (QS. An-Nisa [4]: 59).

Melalui penyebutan ayat-ayat tersebut, dapat difahami bahwa keberadaan seorang pemimpin dalam suatu kelompok, daerah, terlebih dalam suatu negara, adalah hal yang tidak dapat dihindari.

Maka, istilah golput yang selama ini menjadi “hantu” bagi terlaksananya sistem demokrasi oleh seluruh rakyat Indonesia harus dapat ditinggalkan. Hasil ijtimak ulama komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang tahun 2009 memutuskan: Sebagaimana yang tertuang dalam butir 4 (empat) yaitu: Memilih pemimpin yang beriman, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathanah) dan memperjuangkan kepentingan umat, hukumnya wajib. Sebaliknya, memilih pemimpin yang tidak memiliki syarat sebagaimana yang telah  disebutkan dalam butir 4 (empat) hukumnya haram. Demikian juga haramnya bagi mereka yang sengaja tidak memilih (golput), padahal ada calon yang memiliki syarat sebagaimana tersebut dalam butir 4 (empat). (Suara Islam, edisi 147).

Fatwa tersebut menunjukan betapa MUI memberikan gambaran tentang pentingnya seorang pemimpin. Sebab disadari atau tidak, bahwa kenyataan golput meskipun lebih besar dari yang tidak golput, pemimpin yang terpilih akan tetap dilantik.

Dengan demikian, penekanan fatwa tersebut, pentingnya memperjuangkan suara umat Islam, sebab akan menjadi sebuah kekhawatiran, ketika golput melanda bangsa ini. Indonesia sebagai negara muslim terbanyak, tentunya tidak menginginkan dipimpin oleh pemimpin yang bukan Islam. Apalagi secara jelas Allah melarang menjadikan orang-orang kafir sebagai “aulia” atau pemimpin. (QS. Ali Imran [3]: 28).

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (QS. Ali Imran [3]: 28).

Nafas Islam dan Moralitas Calon Pemimpin

Sebagai agama yang sempurna (QS. Al-Maidah [5]: 3), bahkan paling sempurna, Islam adalah cara hidup (way of life) yang total dan padu yang menawarkan landasan moral dan etis bagi pemecahan semua permasalahan kehidupan. Islam adalah din (agama) dunya (dunia) dan daulah(negara) yang didesain sempurna oleh Allah  sampai akhir zaman, maka Islam pasti relevan bagi setiap perkembangan zaman dan tempat.

Islam adalah agama yang universal, baik secara doktrinal maupun obyek kerisalahan. Sehingga, sebagai agama yang universal, maka nilai-nilai Islam juga memiliki kebenaran yang sifatnya universal. Sehingga by nature (secara alami), benar menurut Islam, berarti benar dan pasti baik bagi manusia, tentu saja kalau manusia itu jujur dan terbuka sesuai dengan hati nuraninya. Sebaliknya, salah menurut Islam, berarti salah dan buruk juga bagi manusia. Keislaman pasti sesuai dengan fitrah manusia. Kesan ketidaksesuaian kadang terjadi hanya karena manusia menolak kebenaran Islam yang universal itu.

Maka dalam sebuah upaya agar golput tidak terjadi di negeri tercinta ini, perlu untuk memahami nilai-nilai Islam bagi seorang calon pemimpin, diantaranya:

Pertama, seorang calon pemimpin tidak boleh larut dalam opini publik sekuler, yang memandang bahwa dalam dunia politik, seorang pemimpin boleh bertindak kotor.

It’s just political game or power struggle, adalah ungkapan yang memandang bahwa politik hanyalah sebatas permainan, perebutan kekuasaan. Politik tidak ada hubungannya dengan pahala dan dosa, surga atau neraka, bahkan baik atau buruk. Padahal apabila kita perhatikan pendapat Hasan Al-Bana sebagaimana yang dikutip oleh Zakaria Syafe’i:

“Islam adalah negara dan bangsa atau pemerintahan dan masyarakat, moral dan kekuasaan, rahmat dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum. Islam adalah agama akidah yang benar, sebagaimana halnya ia adalah ibadah yang shahih, satu sama lain saling lengkap-melengkapi dan sama derajat” (2012: 3).

Inilah sifat-sifat yang terkandung dalam Islam, bahwa Islam adalah agama yang universal.

Dunia politik adalah dunia kepura-puraan, di sana tidak ada ketulusan dan kesejatian, yang ada hanyalah kepentingan. (Marjiyanto dalam Nurcholis Madjid, 2002: 234).

Maka, tidak heran apabila kita sering mendengar adagium, bahwa dalam politik tidak ada kawan yang abadi yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Ketika kepentingannya sama maka mereka berkawan, tetapi ketika kepentingannya berbeda atau bertentangan maka mereka menjadi lawan.

Kedua, seorang calon pemimpin harus meneguhkan niat, bahwa yang akan dilakukan harus bermuara kepada dakwah. Sebab pemimpin merupakan orang yang sangat berpengaruh, sehingga ketika kepemimpinannya dijadikan sebagai media dakwah untuk mengajak manusia kepada kebaikan, rakyat akan mengikutinya. Dakwah yang dilakukan bisa dengan lisan maupun perbuatan (dakwah bi al-lisan aw bi al-hal). Akan tetapi yang terpenting yang harus diperhatikan adalah mengenai tata cara berdakwah yaitu dengan cara bijaksana, nasihat yang baik maupun dengan cara berdiskusi (QS. An-Nahl [16]: 125).

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantalah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl [16]: 15).

Ketiga, seorang calon pemimpin harus melakukan sinergitas yang positif dengan masyarakat. Sebab dengan cara inilah hubungan antara masyarakat dengan seorang pemimpin akan terjalin dengan baik.

Ketiga hal tersebut, merupakan upaya dalam rangka memberikan solusi terhadap fenomena golput yang sedang terjadi.

Sampai di sini, maka jelaslah bahwa Islam memberikan seperangkat ajaran-ajaran yang bersifat normatif dalam fenomena golput. Dari uraian tersebut tampak hubungan antara Islam dan dunia politik.

Penutup

Dari uraian di atas, kiranya dapat difahami bahwa golput atau golongan putih merupakan perbuatan yang tidak memberikan aspirasi yang positif terhadap pelaksanaan pemilu. Sebagai umat Islam, seharusnya kita berperan aktif dalam pelaksanaan pemilu. Sebab, masalah pemimpin merupakan masalah yang vital dan fundamental.

Golput dapat terjadi baik disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Golput dalam pandangan fatwa MUI hukumnya haram. Apabila masih terdapat calon yang memiliki sifat-sifat keimanan, shidiq, amanah, tabligh dan fathanah serta memperjuangkan aspirasi umat Islam.

Eksistensi kepemimpinan dalam pandangan Islam, sesuatu yang bersifat kebutuhan. Hal ini banyak didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Kemudian, upaya dalam meminimalisir golput dapat dilakukan dengan memperhatikan pesan-pesan moral yang terdapat dalam Islam, diantaranya; seorang calon pemimpin harus berusaha berfikir jernih dalam dunia politiknya, menjadikan lahan dakwah, dan tempat untuk menyampaikan amar ma’ruf nahyi munkar.

Akhirnya, semoga fenomena golput di negeri tercinta ini dapat berkurang atau bahkan hilang, sehingga aspirasi  umat Islam dapat tersalurkan dengan baik kepada pemimpin-pemimpin Islam. Semoga []

Wallahu a’lam bi al-shawwaab.

Daftar Pustaka

Al-Mawardi, Ahkam Al-Sulthaniyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syariat Islam, Bekasi: PT. Darul Falah, 2013.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, 2013.

Fakih, Annur Rahman, Kepemimpinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001.

Khairuman, Badri dkk., Islam dan Demokrasi, Mengungkap Fenomena Golput Dalam Islam, Jakarta: PT. Nimas Multima, 2004.

Rivai, Veithzal, Islamic Leadership: Membangun Super Leadership, Jakarta: Bumi Aksara, 2013.

Samuddin, Rapung, Fikih Demokrasi: Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Berpolitik, Jakarta: Gozian Press, 2013.

Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1997.

Thaha, Idris, Demokrasi Religius, Jakarta: Teraju Mizan, 2005.

1 comment:

Terima kasih telah membaca postingan ini ... Silahkan tinggalkan pesan Anda.