Friday, July 02, 2010

Taklid Dalam Hukum Amaliyah Agama



Taklid menurut etimologi: Menaruh sesuatu pada leher mencangkup keseluruhannya, hal itu dinamakan dengan kalung.

Ibnu Manzhur dalam kitab Lisan al `Arab dikatakan: Kalung adalah sesuatu yang diletakkan di dalam leher, baik itu bagi manusia, kuda, anjing, unta atau sapi yang digemukkan dan selainnya. Firman Allah Ta`ala yang artinya: “Jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[1], dan binatang-binatang qalaa-id[2]” (QS. Al Maidah: 2)

[1] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih di tanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadah haji.
[2] Ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.

Imam As Syaukani berkata dalam kitab Irsyad al Fuhul: Permisalan seseorang yang bertaklid yaitu menjadikan suatu hukum yang menjadikan taklid dia pada seorang mujtahid seperti kalung di dalam leher orang yang bertaklid padanya.

Adapun Taklid menurut terminologi: Para ahli ushul fiqh menyebutkan sejumlah definisi taklid yang semuanya kembali kepada suatu istilah makna, yaitu mengambil perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Yang demikian itu seperti orang yang menyapu se-perempat kepalanya dalam berwudhu, atau membaca qunut dalam shalat witir berdasarkan pendapat Imam Abu Hanifah.

Dan seperti orang yang menyapu seluruh kepalanya dalam berwudhu, hal tersebut bertaklid kepada Imam Malik tanpa meneliti lebih jauh dalil pedoman Imam Malik dalam menyapu seluruh kepala.

Taklid dalam Hukum Amaliyah Agama

Para ulama berselisih pendapat dalam kebolehan taklid dalam hukum amaliyah kepada tiga pendapat, di antaranya:

Pendapat pertama: Tidak boleh taklid secara mutlak dalam sisi manapun, yang diwajibkan adalah berpendapat dan berijtihad.

Setiap mukalaf berijtihad bagi dirinya sendiri pada sesuatu yang dihadapkan kepadanya dalam perkara agama, dan mengamalkan sesuatu yang telah dilakukannya dalam berijtihad.

Dalam kitab An Nubadz fi ushul fiqh karangan Ibnu Hazm dikatakan: Taklid haram, tidak boleh bagi seseorang mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.

Ibnu Hazm juga berkata dalam kitab Al Ihkam fi Ushul Ahkam: Taklid haram semuanya dalam seluruh ajaran Islam, sejak awal sampai akhir, mulai dari ajaran ketuhanan sampai ajaran kenabian, masalah taqdir dan keimanan, ancaman, kepemimpinan, dan seluruh permasalahan ibadah dan hukum.

Dalil:

1. Allah `azza wajalla mengecam perbuatan taklid dalam suatu hikayat terhadap suatu kaum, yang artinya: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka" (QS. Az Zukhruf: 23)
Tidak mungkin kecaman menandakan kebolehan bertaklid.
Dalil tersebut dibantah bahwasanya yang dimaksud kecaman di sini adalah bertaklid dalam permasalahan aqidah dan segala hal lainnya yang dituntut untuk diketahui sebelumnya.

2. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda: Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Dan sabdanya yang lain: “ Ber`amallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan kepada yang dicipta baginya”.

Dua hadits tersebut umum pada setiap individu dan ilmu, maka keduanya menunjukkan kewajiban berijitihad dan berpandangan hukum.

Hadits pertama dibantah bahwasanya hal tersebut bukan pada tempat pertentangan, karena yang kita bicarakan di sini adalah permasalahan taklid dalam hal furu`iyah, dan makna ilmu dalam hadits adalah keyakinan, tidak dituntut secara global, tidak dalam berijtihad dan taklid.

Begitupun bantahan hadits kedua bahwa yang dibicarakan padanya meskipun umum kecuali bahwasanya mewajibkan kekhususan dan merampingkan atas orang yang telah memenuhi syarat berijtihad.

3. Seandainya orang awam diperintahkan untuk taklid maka dia tidak tentram bahwa orang yang diikutinya terdapat kesalahan dalam berijtihad atau berbohong atas apa yang diberitahukan kepadanya. Seorang awam diperintahkan untuk mengikuti kesalahan dan kebohongan itu dilarang dalam agama.

Bantahan dalil ini terangkum bahwasanya seorang awam apabila berijtihad kemudian merasa tidak tentram dari terjadinya kesalahan, hal tersebut hanyalah mendekati kepada kesalahan karena ketidakmampuannya, maka kesalahannya bersama-sama.

Pendapat kedua: Tidak boleh berijtihad, yang wajib adalah bertaklid setelah zaman imam mujtahid yang terjadi kesepakatan atas penyerahan ijtihad bagi mereka dan boleh mengikuti mereka.

Asy Syaukani dalam kitab Isyad al Fuhul berkata bahwa: Mengkomparasikan pendapat yang berkata tidak boleh yaitu sebagian Hasyawiyah, wajib mutlak dan haram berpandangan hukum. Mereka tidak merasa cukup dengan apa yang ada dalam diri mereka dari kebodohan sampai mewajibkannya atas diri mereka dan atas orang lain. Maka sesungguhnya taklid itu pembodohan dan tidak berilmu.

Pendapat ketiga: Merincikan antara seorang mujtahid dan orang awam. Tidak boleh taklid bagi seorang mujtahid, adapun bagi orang awam maka wajib taklid pada haknya. Ini merupakan pendapat mayoritas dari pengikut imam yang empat (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi`I dan Imam Hambali) dan pendapat yang rajih (kuat, menang) dalam pandanganku.

Dalil pendapat ini, antara lain:

1. Firman Allah ta`ala yang artinya: “Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”.

Dalam ayat ini Allah `ajja wajalla memerintahkan kepada orang yang tidak tahu untuk bertanya kepada orang yang tahu, hal ini menunjukan secara pasti bahwasanya manusia itu terdiri dari orang yang berilmu dan orang yang bodoh, maka bagi orang yang bodoh bertanya kepada orang yang berilmu dari segala sesuatu yang dibutuhkan dan dan tidak diketahuinya.

Maka pembebanan semua manusia bahwa mereka menjadi mujtahid bertentangan dengan yang terkandung dalam ayat ini.

2. Sesungguhnya orang awam pada zaman shahabat dan tabi`in apabila terjadi peristiwa atau kejadian mereka langsung mendatangi para mujtahid dari kalangan shahabat atau tabi`in, mereka menjawab pertentangan dan perselisihan mereka sesuai dengan hukum Allah tanpa mengingkari pertanyaan dan interpretasinya. Hal yang demikian itu merupakan konsensus dari shahabat dan tabi`in bahwa orang yang tidak mampu berijtihad mereka tidak dibebani, dan cara mengetahui hukum-hukum yaitu bertanya kepada orang yang mampu dalam berijtihad.

Pembebanan manusia seluruhnya untuk berijtihad bertentangan dengan konsensus ulama ini.

3. Pembebanan manusia semuanya dalam berijtihad mengakibatkan mereka sibuk dengan kepentingan primer dan kehidupan duniawi, hal yang demikian itu merupakan kerusakan bagi segala kebutuhan manusia.

4. Ijtihad adalah sebuah kekuatan dan kekuasaan tidak boleh dilakukan kecuali bagi kekhususan ulama yang terpenuhi sebab-musababnya dan sempurna bagi mereka segala perantaranya.

Apabila dibebankan kepada orang yang tidak mampu maka yang demikian itu menjadi kebebanan yang bukan pada kesanggupannya. Pembebanan yang bukan pada kemampuannya tidak boleh ditinjau secara agama, sebagaimana firman Allah ta`ala yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah: 286). Wallahu Warasulihi A`lam.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah membaca postingan ini ... Silahkan tinggalkan pesan Anda.