Sunday, October 13, 2013

Ternyata Buyutku Mempunyai Isteri Lebih Dari Sepuluh, Bagaimana Denganku?

Kemarin malam (12/10) adalah doa atau tahlil malam terakhir Nyai Hj. Misroh binti H. Misnan, adik dari ibu bapakku Nyai Hj. Rogaya binti H. Misnan di Kampung Baru, Cakung, Jakarta Timur. Acarapun berjalan khidmat, meski air rahmat dari langit sempat membasahi daerah sekitar tempat kami bersama-sama mendoakannya, tentu dengan doa yang terbaik untuknya.

Ada yang unik dari perjalanan pulang tahlil kemarin, abi [bapak] sedikit bercerita tentang profil H. Misnan, yang notabene adalah buyutku sendiri dari keturunan ibunya bapak. Akulah yang memberikan stimulan kepada beliau agar mau menuturkan kisah seperti apa sosok H. Misnan tersebut, yang hanya bisa aku pandang wajahnya lewat foto yang terpajang di rumah anak-anaknya H. Misnan.

Sebenarnya abi termasuk type orang yang lebih memilih diam, artinya tidak akan memberitahu kecuali ditanya. Dalam beberapa pertanyaanku kemarin malam saja hanya dijawabnya sedikit, namun dibalik sedikitnya itu sempat membuatku menganga, tersontak kaget seakan tidak percaya. 



Kenapa demikian? Karena abi bilang bahwa H. Misnan tercatat pernah memiliki isteri lebih dari sepuluh. Alamak! -Langsung banyak pertanyaan dan pernyataan yang mengiang-ngiang di atas kepalaku-.

Semakin penasaran, beberapa pertanyaan aku lontarkan untuk meyakinkan, apakah benar apa yang dikatakannya itu atau hanya candaan lelucon belaka, karena setahuku selama berkunjung lebaran -idul fithri- ke kediaman-kediaman keluarga besar H. Misnan di Cakung hanya dua biang saja yang dikunjungi, maksud dua biang itu kami hanya sowan dan silaturrahim ke anak-anak keturunan dari dua isterinya -H. Misnan- saja, Hj. Mardhiyah dan Hj. Zahro -yang juga baru kuketahui kemarin bahwa status di antara mereka berdua adalah bibi dan keponakan-.

Waduh rasanya rekaman di otakku semakin berputar tak karuan, antara pusing dan penasaran. Karena abi bilang bahwa dalam biografi perjalanan hidup H. Misnan telah tercatat memiliki isteri lebih dari sepuluh, tentu tidak sekaligus sepuluh.

Aku akan rangkumkan sedikit saja hasil dari perbincangan santai antara anak dan bapak kemarin malam itu. Bahwa benar adanya H. Misnan pernah mempunyai isteri lebih dari sepuluh, isteri pertamanya adalah Hj. Mardhiyah, ibu dari ibunya bapak alias nenekku sendiri, yang ternyata Hj. Mardhiyah masih mempunyai silsilah keturunan ke Pangeran Jayakarta. 

H. Misnan terkenal mempunyai harta yang berlimpah-ruah, baik dari uang maupun kumpulan propertinya. Tak aneh memang jika beliau mempunyai isteri banyak, karena dari sisi penilaian keadilan berpoligami, dia sudah masuk kategori mampu membiayai sandang pangan dan papan semua isterinya. Pernikahan dengan isterinya yang barupun disetujui oleh isteri pertamanya, Hj. Mardhiyah. 

Dari sekian banyak isterinya itu, H. Misnan hanya mendapatkan anak keturunan dari Hj. Mardhiyah dan Hj. Zahro saja, sedangkan dari isteri-isterinya yang lain tidak sempat memiliki keturunan, karena usia pernikahannya tidak berlangsung lama, kandasnya dengan sebab perceraian atau berpisah dalam keadaan hidup.

Jadi, isteri terakhir H. Misnan yang dalam status cerai mati, artinya ditinggal mati H. Misnan hanya dua saja, Hj. Mardhiyah dan Hj. Zahro. 

Sempat terpikir dan melayang pertanyaan iseng, apakah selain beliau kaya raya beliau juga memiliki ilmu pelet -ilmu untuk merayu perempuan atau bahkan menjadi suka padahal awalnya tidak mau untuk dinikahkan- ? Untuk jawaban ini sepertinya H. Misnan tidak memberitahukan lebih lanjut dan mewariskan hal itu -berpoligami- kepada anak keturunannya, yang ternyata bapakku juga sempat melontarkan itu langsung kepada H. Misnan, apa kunci dari semua itu. -Terbahak kecil kami berdua, ternyata pertanyaan iseng itu juga pernah dilontarkan sebelumnya-. Semoga Allah mengampuni segala dosanya dan menempatkannya di Surga terbaik-Nya.

Hmh. Aku baru tahu, ternyata kedua kakek buyutku H. Maan dan H. Misnan, bapak dan ibunya bapakku, terkenal orang-orang yang dikaruniakan Allah harta yang berlimpah atau istilah orang dulu sering disebut bandar tanah di daerahnya masing-masing. Tak aneh jika pada akhirnya kakekku (H. Mahmud bin H. Maan) dan nenekku (Hj. Rogaya binti H. Misnan) disatukan dalam ikatan pernikahan oleh kedua orangtuanya, karena sama-sama orang berduit atau orang dulu sering menyebutnya: durian dengan durian, rambutan dengan rambutan dan kecapi dengan kecapi. Tidak ada masalah, mungkin mereka mengartikan sekufu dengan hal yang sudah dipraktekkan tersebut.

Banggakah aku dengan harta mereka yang berlimpah? Biasa saja, aku lebih bangga jika -semoga saja- dengan kelebihan yang Allah berikan kepada mereka, kelebihan itu mereka telah pergunakan dengan baik atau paling tidak sebagiannya telah disumbangkan untuk kegiatan atau sarana sosial, yang pahalanya terus mengalir sebagai amal jariah mereka, karena sadar harta yang banyak itu adalah titipan Tuhan yang sebagiannya itu terdapat bagian hak orang-orang yang tidak mampu alias taqdir kehidupannya beda dengan mereka, semoga yang dipraktekkan demikian adanya.

Lalu bagaimana dengan diriku sendiri, apakah ingin seperti mereka -khususnya dalam permasalahan mencari pasangan hidup yang sah sesuai syariat agama- ? Tentu ada sedikit perbedaan, karena hidup mereka dan aku tidak sama, artinya pemikiranku dalam mencari pasangan hidup yang sepadan atau sekufu, aku mengartikannya lain atau beda dengan mereka.

Bagiku, sekufu itu adalah perempuan dari keturunan baik-baik dan berilmu, artinya kedua orangtua dan keluarganya terkenal di masyarakat adalah keluarga baik-baik, tidak meresahkan masyarakat. Kenapa demikian? Logis saja, karena ingin memiliki anak keturunan yang najib [cerdas, jenius dan mulia], terkadang -kebanyakan- jika ibu-bapaknya berilmu maka anaknya pun akan menular atau paling tidak menyerupai sebagian sisi-sisi baiknya. Aku mengaca pada pesan Rasulullah Saw.: "Carilah perempuan yang baik untuk bibitmu nanti, pilihlah yang sekufu atau yang sepadan untukmu, nikahilah dia!". Rasul sangat menganjurkan hal demikian agar dia -sang isteri- bisa mendidik anak-anak -buah hati bersama- dengan pendidikan yang mulia, karena isteri merupakan madrasah [sekolah] pertama dalam pendidikan masa depan anaknya, juga karena dibalik lelaki yang sukses terdapat sosok wanita -isteri- yang baik di sisinya. 

Jangan sekali-kali ada niat menikahi perempuan karena harta kekayaan orangtuanya, dengan tujuan agar bisa menaikkan atau memperbaiki derajat atau kasta sosial, sungguh sangat hina sekali jika bermaksud demikian, tidakkah ia melihat dan merenungi hadits Rasulullah Saw: "Barangsiapa yang menikahi perempuan karena harta kekayaannya, niscaya Allah tidak akan menambahkannya kecuali kehinaan".

Memang benar, tidak ada yang bisa mengetahui hati manusia kecuali dirinya sendiri dan Tuhan. Tapi setidaknya mengikuti saran rasul itu jauh lebih baik daripada mengikuti hawa nafsu belaka. 

Aku teringat dengan perkataan dosenku di Alazhar, Mesir ketika menerangkan materi kuliah Ahwaal Syahkhshiyyah, khususnya tentang fiqh keluarga dalam Islam. Beliau adalah Prof. Dr. Asyraf Mahmud al-Khatib, dalam keterangan beliau yang panjang dan mendalam itu aku telah meringkasnya bahwa sifat atau kriteria perempuan yang disunnahkan untuk dikhitbah [lamaran sebelum menikah], adalah sebagai berikut: 1. Perempuan shalihah, agamanya bagus (kriteria inti) 2. Perawan, 3. Subur, agar bisa memperoleh keturunan. 4. Cantik, sesuai dengan perkataan nabi ketika ditanya siapa perempuan yang baik, beliau menjawab: yang kamu akan merasa gembira dan tenang jika memandangnya dan yang menurut jika diperintahmu -suami-. 5. Berakal, 6. Sekufu, sepadan, keturunan baik dan berilmu. 7. Orang asing, artinya tidak ada kaitan hubungan tali persaudaraan, 8. Tidak bermegahan dalam urusan mahar, artinya tidak mempersulit bilangan atau jumlah mahar maskawin. Agar mempermudah semuanya, sesuai dengan perkataan rasul: Sepaling baik pernikahan adalah yang mempermudah segala urusannya. 

Itulah delapan sifat atau kategori yang kemudian aku jadikan pedoman dalam sebaik-baiknya pilihan, dan kekuatan dasar dalam menerapkan kemurnian, keharmonisan, kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga.


Adapun permasalahan poligami, silahkan saja -tidak masalah- beristeri maksimal empat, jika merasa mampu melaksanakan syarat dan ketentuan yang sudah disepakati bersama, tapi bagi saya keikhlasan isteri pertamapun harus dipegang dengan benar, jangan sampai mempermainkan dalil agama dalam urusan poligami, karena sayapun sangat merenungi surah An-Nisaa ayat: 129 tentang keutuhan makna adil, jika yang mau berpoligami mampu menjelaskan tafsiran ayat tersebut, silahkan saja dipraktekkan!

2 comments:

  1. Setuju banget sama yang terakhir. Permasalahan poligami ini terserah aja, asal sanggup dan adil aja. Tapi kalo Islam maksimal empat. Kalo sepuluh gitu ribet juga sih. Gak ada lagi yang namanya malam pertama, tapi malam sepuluh

    ReplyDelete
  2. Kalo masalah poligami, saya sebagai seorang wanita tidak mau dipoligami, karena laki-laki itu tidak akan pernah bisa berprilaku adil. Adil itu bukan berarti sama rata tapi menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.
    Itu menurutku yah, lagian orang zaman sekarang berpoligaminya bukan seperti Rosulullah yang memiliki niat menolong, tapi lebih ke fisik, karena punya harta, dan mungkin nafsu semata.
    Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dari hal-hal seperti itu. Amiinn

    ReplyDelete

Terima kasih telah membaca postingan ini ... Silahkan tinggalkan pesan Anda.