Wednesday, September 25, 2013

Pemugaran Makam Almarhum Uje: Wasiat Dahulu atau Mashlahah Mursalah?


Menjawab pertanyaan Kanda Bhayu Sulistiawan di wall akun Facebook saya pada Senin, 23 September 2013 mengenai permasalahan ini, : “kalo udah begini mana yg kudu didulukan antara wasiat dengan maslahah mursalah (dlm hal ini kepentingan peziarah). colek master ushul fiqh Irhamni Rofiun Mahmud Ma'an” wasiat dahulu atau maslahah mursalah?  dari berita: Kakak Uje Sesalkan Pipik Bicara ke Media

Saya pun berkomentar: “Waduh saya bukan master Ushul Fiqh, bang. Status saya ini masih thaalib [mahasiswa], mohon doanya saja agar urusan studi saya dan urusan kita semua dimudahkan. Aamiin.”

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillah was shalaatu was salaamu 'alaa rasuulillah, waba'du.

Sebelum membahas permasalahan yang ada, sebaiknya harus difahami dengan baik arti dari wasiat dan maslahah mursalah. Saya jadi tertarik membaca ulang kitab-kitab di rak buku saya, sambil belajar juga, jika ada pemahamahan yang kurang tepat moga saja ada yang berhati baik untuk meluruskan -saya ucapkan terima kasih-. Perlu diketahui saya menulis ini juga di memopad BB dan mempostingnya lewat BB juga. Lappinya lagi gak online. Hehe  Jadi mohon maaf jika ada kekeliruan dan tulisan ini agak panjang seperti "setengah" makalah dan agak lama juga.

Arti wasiat itu sendiri masih bersifat umum, karena bersifat donasi sosial, juga karena wasiat itu adalah perintah yang berkaitan dengan tindakan -yang akan dilakukan- setelah mati, kemudian perkara itu diamanahkan kepada orang yang sudah dipercayakan oleh sang pemberi wasiat, adakalanya berkaitan dengan akad atau juga pengaturan harta berbentuk barang atau uang, bisa juga berbentuk perbuatan atau kegiatan, baik dalam ruang lingkup sosial atau juga pribadi atau keluarga.

Perlu diingat, posisi wasiat itu harus berada setelah "mushan lahu" [yang menerima wasiat] melunaskan hutang "mushin" [yang meninggalkan wasiat] yang sudah meninggal, baru kemudian menunaikan segala wasiatnya serta membagikan warisannya jika masih ada.

Macam wasiat itu ada dua, ada yang muthlaq, contohnya: aku mewasiatkan untuk pulan agar mewakafkan tanahku satu hektar untuk pembangunan masjid, atau aku mewasiatkan kepada pulan agar aku dikuburkan di samping kedua orangtuaku. 

Ada juga yang muqayyad, artinya digantungkan pada syarat, contohnya: "jika" aku meninggal dari; sakitku ini, atau di negeri ini, atau pada perjalanan ini, maka untuk pulan rumah peninggalanku beserta isinya, atau kuburkan aku di mana aku meninggal nanti. Wasiat ini sah jika syarat tersebut terpenuhi, tapi jika dia sembuh dari sakitnya atau tidak meninggal di negeri itu atau pada perjalanan tadi, maka semua wasiatnya batal, alasannya karena ketiadaan syarat yang digantungkan tadi, permasalahanpun jelas. Masih banyak lagi aneka jenis wasiat menurut fiqh Islam.

Permasalahan seputar wasiat saya rasa juga sudah banyak diulas tuntas di kitab-kitab fiqh, tinggal kesadaran diri kita saja kapan ada waktu untuk muthalaah dan membacanya, karena permasalahan fiqh terkadang jangkauan pemahamannya tidak sampai kepada orang-orang tertentu -termasuk saya-, artinya kudu dengan pemahaman yang mendalam.

Contoh kecil saja, menurut saya ini sangat logis bisa diterima akal, siapa yang lebih diutamakan dalam hak menerima atau menolak? Dalam fiqh Islam dikatakan para ahli fiqh sepakat bahwa "yang menerima wasiat" berhak didahulukan jika terjadi suatu permasalahan yang berkaitan dengan pilihan menerima atau menolak, dengan catatan ia sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Adapun pemahaman tentang maslahah mursalah, khususnya menurut pengertian para ahli ushul fiqh, maslahah mursalah adalah suatu permaslahatan yang belum ditetapkan oleh Sang Pembuat Syariat (baca: Allah) secara hukum dalam penerapannya, artinya belum ada dalil syar'i yang menunjukkan suatu kemaslahatan tadi apakah dilakukan atau ditinggalkan. Nama lain maslahah mursalah adalah maslahah muthlaqah, artinya kemaslahatan tersebut tidak terikat dengan dalil pembebanan hukum atau dalil pembatalannya.

Pembagian jenis maslahah pun banyak, salah satunya adalah jenis maslahah yang ditinjau dari segi pengaruhnya dalam mendirikan urusan atau perkara suatu umat, ada tiga macam:

1. Dharuuriyyah atau primer, artinya harus dilaksanakan demi menjaga kemaslahatan agama dan dunia, jika dihilangkan maka stabilitas kemaslahatan dunia tidak akan berdiri tegak, maksudnya akan mengakibatkan kerusakan, kekacauan dan hancurnya kehidupan.

2. Haajiyyah atau sekunder, artinya hal ini dibutuhkan untuk perluasan saja, maksudnya apabila hal tersebut tidak dijaga maka sekelompok orang -tidak semua orang- akan mengalami kesulitan dan kesusahan, akan tetapi kerusakan yang terjadi tidak sampai mengganggu kemaslahatan umum, artinya hanya dirasakan segelintir orang saja.

3. Tahsiiniyyah atau tersier, artinya diambil berkaitan hanya untuk penghias adat kebiasaan saja, juga penghindaran diri dari kondisi yang tidak baik, dan berkaitan pula untuk menjaga kemuliaan etika dan moral.

Dalam Dharuuriyyah atau primer pun ada yang namanya "Panca Syariat" lima syariat, ideologi Islam yang sifatnya mengikat bagi seluruh umat Islam di manapun ia berada dan dari manapun asalnya.

Butir-butir Panca Syariat adalah:

1. Menjaga Agama Islam [Hifdzu al-Diin]
2. Menjaga Jiwa [Hifdzu al-Nafs]
3. Menjaga Akal [Hifdzu al-'Aql]
4. Menjaga Kehormatan (Nasab) [Hifdzu al-Nasl]
5. Menjaga Harta [Hifdzu al-Maal].

Jika ditelaah, maka seluruh ayat-ayat Alquran dan hadis nabawi adalah refleksi dari kelima butir Panca Syariat di atas. Demikian juga pembahasan seluruh disiplin keilmuan Islam, temanya akan bermuara dalam Panca Syariat ini. Dalam bahasa arab, Panca Syariat disebut dengan istilah "Dharuuriyyaat al-Khams" yang merupakan intisari dari "Maqaashid Syarii'ah".

Sekedar mengingatkan bahwa maslahah mursalah itu masuk dalam kategori dalil syar'i yang masih diperselisihkan oleh kalangan ulama, ia masuk dalam enam dalil syar'i yang "mukhtalaf", di antaranya: istihsan, maslahah mursalah, 'urf, istishab, syar'un man qablana dan madzhab as-shahabi. Adapun dalil syar'i yang "muttafaq" menurut mayoritas ulama, seperti yang sudah diketahui itu ada empat: Alquran, sunnah, ijma' dan qiyas.

Meskipun masih diperselisihkan, rasanya mashlahah mursalah ini masih perlu digunakan dan masih terbuka luas, karena jika tidak terbuka maka akan terjadi kejumudan dalam memahami hukum syariat Islam, karena setiap masa dan waktu terkadang dan biasanya permasalahan yang dihadapi akan beda, karena dalil ini berkaitan dengan kepentingan manusia dengan maksud mendatangkan manfaat, menolak kemudharatan atau juga mengangkat dan mengentaskan kesulitan yang ada. Kepentingan manusia pun tidak terbatas pada bagian tertentu saja dan tidak terhenti karena keindividualitasannya, akan tetapi ia akan terus diperbaharui sesuai dengan pembaharuan kondisi manusia dan perkembangan lingkungan yang berbeda.

Permisalan mashlahah mursalah itupun sudah ada pada zaman para sahabat, tabi'in dan para imam mujtahid, contohnya: - Abu Bakar as-Shiddiq, mengumpulkan lembaran ayat yang tercecer yang kemudian dimodifikasi menjadi sebuah Alquran yang utuh, memerangi orang yang tidak mau berzakat, - Umar bin Khattab, menyatakan bahwa thalaq tiga kali menjadi hukum dengan satu kalimat, - Usman bin 'Affan, mengumpulkan orang-orang tertentu untuk menghimpun Alquran menjadi satu mushaf dan disebarkan ke setiap pelosok kabilah tertentu, - Ali bin Abi Thalib, membakar orang-orang yang melampaui batas dari kelompok syiah rafidhah, - Imam Hanafi, melarang seorang mufti yang tidak punya moral/suka bercanda untuk berfatwa, - Imam Maliki, membolehkan untuk menangkap tertuduh dalam satu kasus hukum dan memenjarakannya sampai ditetapkan sebagai tersangka, - Imam Syafi'i, mewajibkan hukuman qishas kepada sekelompok orang yang telah membunuh satu orang. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.

Jadi, saya sangat berhati-hati sekali dalam menyikapi permasalahan ini, sebagai muqaddimah [pendahuluan], semoga saja penjelasan di atas dapat dicermati dengan baik, dan kiranya tidak membutuhkan penjelasan berikutnya. Saya pun sengaja belum memasukkan qawaa'id fiqhiyyah untuk menuntaskan permasalahan di atas. Jujur, saya masih terpaku dengan pengertian awal dari tema utama yang dibahas, di samping permasalahan 'iddah, saya pun kaget terhadap pernyataan Ustad Aswan Faizal -kakak kandung almarhum Uje- yang disiarkan melalui tayangan televisi, beliau mengatakan bahwa hubungan suami-isteri antara almarhum Uje dengan Pipik Dian Irawati, isteri Uje, sudah tidak ada lagi, beliau menyebutkan dengan istilah "mantan isteri", jadi setelah wafatnya Uje, Teh Pipik tidak ada kaitannya lagi dengan Uje, (hati saya kemudian berkicau: Ustad, bukannya hubungan antara suami-isteri yang taat akan kekal sampai di surga? Itupun ada dalilnya Ustad, tidak asal berkicau. Benar memang hubungan itu akan terputus jika suaminya menikah lagi dengan perempuan lain, isteri yang dinikahi terakhirlah yang akan menemani sang suami di surga, isterinya yang pertama atau yang setelahnya tidak akan ada rasa iri dan cemburu dalam hati mereka, mereka pun akan ditemani huurun 'iin bidadara-bidadari surga, karena di surga sifat-sifat yang tidak baik akan hilang. Hmh.. Gumamku dalam hati) terlebih dengan permasalahan pemugaran makam dengan marmer yang tinggi itu -saya langsung tercengang-, lalu kemudian Ustad Aswan menambahkan keterangan kepada yang menonton untuk membuka kembali kitab fiqh tentang 'iddah.

Akhirnya saya buka lemari kitab saya, saya ambil beberapa kitab fiqh dan ushul fiqh sebagai rujukan, terkhusus permasalahan 'iddah, saya buka kitab karangan Duktur Wahbah al-Zuhaili, Mausuu'ah al-Fiqh al-Islaamii wa al-Qadhaayaa al-Mu'aashirah, jilid ke 8 -total ada 14 jilid-, saya berusaha untuk membaca 44 halaman yang khusus membahas permasalahan 'iddah -sekiranya ada pemahaman saya yang kurang, mohon dikoreksi dan ditambahkan, saya mohon maaf jika ada salah dan keliru-.

Intinya, saya tidak mendapatkan istilah "mantan isteri" yang diungkapkan Ustad Aswan tadi, di sana dikatakan bahwa 'iddah menurut pengertian mayoritas ulama adalah masa menunggu seorang perempuan, tujuannya untuk mengetahui bahwa tidak ada kandungan dalam rahimnya, atau untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah, atau untuk meredam kesedihan atas suaminya. Hal ini berkaitan dengan thalaq raj'i (bisa kembali), thalaq baain (yang tidak bisa kembali lagi, kecuali setelah menikah dengan yang lain dan harus bersenggama dengan pasangannya tersebut, kemudian jika terjadi thalaq baain maka bisa kembali kepada pasangannya yang pertama) dan 'iddah ini berkaitan pula dengan seorang isteri yang ditinggal dengan sebab meninggal, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat alias menghilang karena tidak ada kabar pasti tentang keberadaannya, tentu dengan dugaan alibi yang kuat bahwa sang suami telah meninggal dunia, serta masih banyak contoh 'iddah lainnya.

Terkhusus permasalahan 'iddah disebabkan ditinggal mati suami, saya dapatkan di dalam kitab tersebut bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak diperbolehkan untuk keluar pada malam hari selama masa 'iddahnya, empat bulan sepuluh hari, adapun pada siang hari maka diperbolehkan untuk keluar dengan tujuan memenuhi kebutuhannya, khususnya dalam mencari nafkah untuk dirinya dan anaknya -jika memiliki anak-, karena setelah suami meninggal maka hak dan kewajiban seorang seorang suami terlebih dalam menafkahi isteri dan anaknya telah selesai.

Saya langsung memberi lingkaran pada kalimat "al-zawj al-mutawaffa" dan "intihaai al-zawjiyyah bil-maut", saya memahami kalimat tersebut bahwa seorang suami yang sudah meninggal saja masih ditulis suami, apalagi seorang isteri yang ditinggal mati, rasanya tidak ada mantan isteri dalam pemahaman "'iddah al-mutawaffa" di sini, kecuali jika memahaminya dalam konteks 'iddah dari thalaq baain, maka otomatis pertalian suami-isteri itu terhenti alias sudah bisa dikatakan mantan isteri atau mantan suami, karena perpisahannya disengaja, adapun 'iddah yang meninggal tadi perpisahannya tidak disengaja dan memang sudah taqdir Allah dia meninggal. 

Adapun dalam memahami "intihaai al-zawjiyyah bil-maut" yang dimaksud adalah telah selesai hubungan suami-isteri disebabkan karena kematian, tapi tunggu dulu, dalam memahami kalimat ini jangan secara parsial saja, tapi harus secara menyeluruh, karena sebelum kalimat itu ada kalimat "wa in kaanat mu'taddah min wafaah: falaa nafaqata lahaa bi al-ittifaaq, li intihaai al-zawjiyyah bi al-maut" [jika 'iddahnya disebabkan karena sang suami meninggal, maka ulama sepakat tidak ada nafkah lagi, karena dengan adanya kematian maka selesailah hubungan suami-isteri], jelas! Jadi berkaitan dengan nafkah, bukan berkaitan dengan hal yang lain, karena di dalam Alquran juga sudah jelas bahwa seorang isteri mempunyai hak dalam harta warisan yang ditinggalkan sang suami.

Jadi, menurut saya istilah mantan atau bekas isteri itu kurang tepat, atau jika beliau menginginkan maksud yang lain saya rasa bahasanya kurang diperhalus, menyebabkan yang mendengar -terkhusus saya- jadi salah kaprah. Wallaahu ta'aalaa a'laam.

Adapun permasalahan pemugaran makam itu, saya rasa itu menyangkut urusan pribadi keluarga mereka dan pemerintah setempat khususnya yang berkaitan dengan perda tentang pemakaman, harus dimusyawarahkan kembali atau duduk bersama mencari win-win solution, jangan sampai bad news menjadi good news, karena sudah diotak-atik oleh media. 

Semoga apa yang saya tulis ini dapat mengenai sasaran atau setidaknya sedikit-banyak dapat membantu dalam memahami permasalahan yang sudah didengungkan kepada masyarakat umum ini. 

Prinsip saya, di luar permasalahan yang sedang dibahas, jika ada suatu permasalahan yang berkaitan dengan ummat alias merugikan banyak ummat dengan cara penyelewengan atau perampokan uang ummat, maka kita jangan tinggal diam saja, jika berani rubahlah, jika tidak berani, maka doakan saja semoga ia diberikan hidayah atau kesadaran atas perbuatannya itu, jika tidak berubah juga, maka percayalah Allah yang akan menyadarkannya berupa teguran atau yang lainnya.

Semoga Allah mengampuni segala kesalahan dan kekhilafan kita semua; memberikan keistiqamahan dan selalu memberikan hidayah untuk mencintai Alquran dan Sunnah, memberikan pemahaman yang baik dan benar, juga terhindar dari perpecahan dan omongan yang keluar dari hawa nafsu belaka, serta yang terpenting Ustad Jefri al-Bukhari -rahimahullahu rahmatan waasi'ah- tetap berbahagia di surga sana dan mengharapkan kita agar masuk ke surga juga, semoga. Aamiin ya Allah. ¤

Bekasi, 23 September 2013


2 comments:

Terima kasih telah membaca postingan ini ... Silahkan tinggalkan pesan Anda.